Posted by: fpkssda | April 16, 2008

Siapakah Pemenang Pilkada Malut?

Siapakah Pemenang Pilkada Malut?
Oleh Moch. Nurhasim *
-Jawa Pos, 15/04/08-

Sengketa pilkada langsung Maluku Utara (Malut) kembali mengusik perhatian. Penentuan pemenang Pilkada Malut berlarut-larut. Kubu pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo (diajukan koalisi Golkar-PAN dkk) dan Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba (koalisi PKB-PKS-Demokrat dkk) sama-sama mengklaim sebagai pemenang.

Sebelumnya, MA memberi amar agar dilakukan penghitungan ulang di sejumlah kecamatan. Hasilnya, lagi-lagi ada dua versi penghitungan. Versi Plt Ketua KPU Malut memenangkan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo, sedangkan versi KPU Malut yang dinonaktifkan memenangkan pasangan Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba.

Depdagri yang diberi wewenang Mahkamah Agung (MA) memberikan fatwa putusan tersebut malah mengembalikannya ke DPRD Malut (Jawa Pos, 4 April 2008). Mendagri mengatakan, “Sudah ada empat kali usul yang masuk (ke Depdagri) dengan nama pasangan berbeda-beda. Nanti kalau yang satu saya proses, kubu lain protes. Sebab, masing-masing punya argumentasi.”

Siapa Penentu Kemenangan?

Kemelut penentuan kemenangan Pilkada Malut menjadi tanda tanya besar, siapa sesungguhnya yang menentukan kemenangan calon? Bila kita merujuk pada pasal 106 dan 107 UU No 32/2004, ada dua rezim penentu kemenangan calon terpilih.

Pasal 106 berkaitan dengan perselisihan akibat adanya keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keberatan tersebut berkaitan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon. MA memutus sengketa hasil penghitungan suara dan keputusan tersebut bersifat final dan mengikat.

Dalam kasus Pilkada Malut, MA tidak memutus hasil penghitungan suara yang disengketakan, tetapi mengembalikan penghitungan ulang kepada KPU Maluku Utara.

Di sinilah pangkal awalnya karena seharusnya MA tinggal menentukan penghitungan mana yang dianggap sah, apakah penghitungan KPU Malut yang memenangkan pasangan Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba yang kemudian dinonaktifkan ataukah penghitungan KPU Jakarta yang memenangkan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo.

Akibat keputusan tersebut, terdapat dua versi pemenang kembali. Versi penghitungan ulang Rahmi Husen dan Nurbaya Soleman (yang telah dinonaktifkan) pada 11 Februari 2008 di Hotel Bidakara dengan dalih melaksanakan kewajiban atas putusan MA memenangkan pasangan Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba.

Beberapa hari kemudian, Plt KPU Malut Muchlis Tapitapi yang melakukan penghitungan sama memenangkan pasangan Abdul Gafur-Abdrurrahim Fabanyo.

Dampaknya, timbul polemik. Penghitungan pihak mana yang diakui? Apakah KPU Malut versi Rahmi Husen dan Nurbaya Soleman ataukah Plt KPU Malut Muchlis Tapitapi?

Dalam hal ini, kita bisa kembali pada pasal 109 UU No 32/2004 yang menjabarkan prosedurnya. Menurut pasal 109, pengesahan pengangkatan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan DPRD provinsi kepada presiden melalui menteri dalam negeri berdasar berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

Dalam kasus Pilkada Malut, bila DPRD Provinsi Maluku Utara taat asas, calon yang diusulkan adalah hasil penghitungan Plt KPU Malut Muchlis Tapitapi.

Anehnya, justru DPRD Provinsi Maluku Utara mengajukan empat kali surat kepada Mendagri dengan nama yang berbeda-beda. Padahal, bunyi pasal 109 UU No 32/2004 menegaskan dengan jelas bahwa usul pengesahan pengangkatan oleh DPRD berdasar pada berita penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi.

Ketidakpastian

Pernyataan Mendagri yang menegaskan bahwa DPRD Provinsi Malut telah mengusulkan surat dengan perbedaan nama pasangan calon memang seharusnya tidak terjadi. Namun, dalam kasus sengketa Pilkada Malut, lagi-lagi bila tidak ada faktor X, seharusnya secara aturan main yang berhak diusulkan adalah pasangan calon Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo yang didasarkan pada hasil penetapan Plt KPU Provinsi Malut Muchlis Tapitapi. Sebab, Rahmi Husen dan Nurbaya Soleman telah dinonaktifkan KPU atas dasar UU No 22/2007.

Anehnya, mengapa DPRD Provinsi Malut empat kali mengusulkan pengesahan pengangkatan dengan nama pasangan yang berbeda-beda.

Menurut saya, untuk memutus pertikaian politik yang lebih parah di Maluku Utara dan politisasi dalam penentuan calon terpilih untuk disahkan sebagai gubernur/wakil gubernur, sebaiknya Departemen Dalam Negeri, dalam hal ini Mendagri, berpegang teguh pada pasal 109 UU No 32/2004. Pasal itu sudah menegaskan bahwa DPRD Provinsi Maluku Utara hanya dapat mengusulkan pengesahan pengangkatan calon untuk dilantik atas dasar berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi.

Departemen Dalam Negeri seharusnya tidak perlu mengembalikan kembali pada DPRD Maluku Utara bila dalam pengajuan tersebut pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo pun diusulkan untuk disahkan pengangkatannya.

Masalahnya, penetapan calon terpilih versi KPU Malut mana yang menjadi dasar? Lagi-lagi kalau kita taat asas, berdasar UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, meski langkah KPU Jakarta mengambil alih dan menonaktifkan Rahmi Husen dan Nurbaya Soleman debatable, keduanya telah dinonaktifkan dan telah diangkat Plt ketua KPU Maluku Utara.

Karena itu, hasil penghitungan Plt Ketua KPU Maluku Utara itulah yang seharusnya dijadikan sebagai dasar oleh semua pihak, terlepas dari perbedaan kepentingan politik dan kekecewaan atas sistem yang ada.

* Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI


Leave a comment

Categories