Posted by: fpkssda | April 19, 2008

Mengapa Hade Syampurno?

Mengapa Hade Syampurno?
Oleh Effendi Gazali
-Kompas, 18/04/08-

Nyaris tidak diunggulkan oleh survei sebelumnya, berbagai penghitungan cepat (quick count) menunjukkan bahwa Ahmad Heryawan-Dede Yusuf bakal menduduki jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Demikian pula kejutan untuk duet Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho di Sumatera Utara. Aneka interpretasi pun bermunculan, bahkan sampai prediksi pemilu presiden.

Artikel ini bermaksud menganalisis beberapa aspek praktis komunikasi politik di seputar fenomena terbaru ini. Paling tidak, sementara ini tersedia tiga logika standar.

Pertama, sebuah mesin politik yang solid dengan kantong-kantong suara yang jelas, melaju di antara dua atau tiga massa relatif mengambang! Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terlahir sebagai partai ideologis, berbasis kader militan, rajin bekerja di kalangan kampus, kaum muda, dimulai dari perkotaan. PKS selanjutnya menyatakan diri terbuka (inklusif) dan mulai masuk pinggir kota serta pedesaan. Penyesuaian semacam ini yang membuat PKS mulai terhindar dari bahaya the ceiling effect saat sebuah partai demikian menonjolkan nilai-nilai agamis, bahkan di negara dengan dominasi agama tertentu sekali pun.

Kedua, tentu faktor terdapatnya calon ketiga, keempat, dan seterusnya. Semakin banyak jumlah pasangan, semakin terbuka peluang mesin partai yang solid dan kerja kader yang militan. Di DKI Jakarta saja, jika tersedia calon lebih dari dua pasangan, kemenangan minimalis pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Prijanto barangkali bisa buyar.

Orde Capek Antre

Ketiga, bahkan yang terpenting, rangkaian logika setelah Orde Lama muncullah Orde Baru, dan kini giliran Orde Capek Antre (Orca). Orca ini terlihat secara amat praktis dalam perasaan capek antre minyak tanah, antre minyak goreng, antre gas, antre beras, antre lapangan pekerjaan, bahkan capek untuk melihat berbagai antre itu (bagi yang tidak mengalaminya secara langsung). Dalam suasana Orca ini, lazim betul di banyak negara menggelegar kata-kata pamungkas: perubahan, pemimpin baru, atau pemimpin muda.

Faktor-faktor selanjutnya merupakan tambahan dan tentu saja selalu bisa dikembalikan ke analisis pengamat atau diklaim sebagai strategi jitu bagi yang melakukannya.

Dalam fenomena kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade), isi pesan yang fokus ke kantong-kantong sebelumnya terasa amat tepat. Untuk memperluas modal dasar itu, dikembangkanlah formulasi janji riil yang menarik bagi pemilih pemuda, mahasiswa, karyawan swasta, mereka yang membutuhkan lapangan pekerjaan, bahkan untuk ibu rumah tangga. Penyediaan sejuta lapangan pekerjaan dalam jangka waktu tiga tahun dan segera mewujudkan pendidikan gratis sampai tingkat SMU adalah contoh pesan pamungkas itu.

Pastilah pasangan kandidat lain lebih kurang menjanjikan hal yang sama. Namun, akumulasi dari Orca dan janji-janji yang terlalu banyak (tidak fokus pada segmen yang tajam pula) membuat pemilih lama tetap loyal dan yang baru mulai berpaling kepada Hade.

Bagaimana dengan prediksi runtuhnya partai-partai besar, runtuhnya calon-calon tua, serta pengaruh selebritisasi?

Mungkin kita perlu berhati-hati membacanya sementara ini. Tiga logika sederhana komunikasi politik itu ternyata hanya cukup mengantarkan pasangan Hade untuk menang (dari perkiraan penghitungan cepat ) sekitar 40 persen. Artinya, dari suara yang masuk, ada 60 persen tidak memilih pasangan muda, tetapi mereka terbelah ke dua pilihan lain.

Di Sumatera Utara pun, Syamsul Arifin- Gatot Pujo Nugroho (Syampurno), berdasarkan penghitungan cepat sementara, hanya memperoleh sekitar 27 persen suara meski mereka diusung 11 partai. Memang, sebaliknya, dalam konteks seperti ini pukulan terasa relatif telak bagi partai-partai besar yang menguasai daerah itu pada pemilu sebelumnya.

Selebritisasi?

Soal selebritisasi, kita perlu menjernihkan apa definisinya dalam komunikasi politik serta siapa orangnya. Street (2004) ataupun West & Orman (2002), umumnya menyatakan bahwa selebritisasi politik bukan sekadar mengarah pada artis yang masuk bidang politik, melainkan politisi yang diberikan kesempatan banyak muncul di media, khususnya televisi, adalah juga politisi selebriti!

Jadi, Yuddy Chrisnandi atau tokoh-tokoh muda lain, jika banyak diberi kesempatan oleh media, mereka pun bisa menjadi lebih tergolong politisi selebriti ketimbang Dede Yusuf (meski Yuddy belum pernah main sinetron laga apa pun).

Dalam konteks selebritisasi komunikasi politik, Dede Yusuf sebetulnya sudah agak kurang intens (meski bisa saja kaum ibu masih mengingat Dede Yusuf sebagai Komandan Pasukan Bodrex dalam sebuah iklan lama).

Agum Gumelar mungkin lebih tinggi posisinya menurut definisi itu. Namun, kontribusi dari PAN, usia Dede dan pasangannya yang terasa pas, isi pesan yang ketat pada segmen yang terfokus, serta era Orca sebagai latar belakang momentumnya menjadikan Hade sebagai fenomena mutakhir!

Ilmuwan komunikasi politik pun percaya pada penampilan Hade dalam debat kandidat terakhirnya (sekali lagi dikaitkan dengan fokus suara siapa yang ingin mereka tuju). Syamsul Arifin pun di Sumatera Utara dengan penampilannya yang khas, apa adanya, merupakan selebriti dalam definisi komunikasi politik.

Ke depan, khususnya untuk Pemilu 2009, apa yang bisa kita katakan? Pandai- pandailah berkawan sehingga hitung-hitungan yang besar tidak terpecah-pecah melawan yang sedikit tetapi solid.

Orca memang menyediakan momentum untuk pemimpin baru, apalagi yang muda, tetapi kemampuan untuk fokus pada pesan dan segmen pemilih tetap menjadi kunci. Selebritisasi politik pun tidak selalu harus diartikan bermain sinetron atau iklan, tetapi sejauh mana Anda tersohor menawarkan sesuatu mengobati sindrom Orca!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI


Leave a comment

Categories