Posted by: fpkssda | April 19, 2008

Tatanan Politik dan Sistem Pemilu

Tatanan Politik dan Sistem Pemilu
Oleh Ramlan Surbakti
-Kompas, 18/04/08-

Tatanan politik macam apakah yang hendak dicapai oleh Undang-Undang Pemilu yang baru, khususnya pasal-pasal yang mengatur sistem pemilihan umum anggota DPR dan DPRD? Pembuat UU ini tampaknya berupaya mempertajam misi UU Nomor 12 Tahun 2003 untuk mewujudkan keseimbangan keterwakilan penduduk dengan akuntabilitas wakil rakyat.

Besaran daerah pemilihan atau dapil anggota DPR diturunkan dari 3-10 menjadi 3-12 kursi (besaran dapil anggota DPRD tetap), tetapi hanya sedikit perubahan yang terjadi, berupa penambahan tujuh dapil karena penambahan 10 kursi DPR.

Kini 560 kursi DPR akan diperebutkan di 76 dapil pada 33 provinsi. Penajaman keterwakilan penduduk terjadi karena UU ini mengharuskan partai politik (parpol) peserta pemilu tidak saja mencalonkan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan, tetapi juga menempatkan sekurang-kurangnya satu perempuan dari setiap tiga calon di setiap dapil.

Penajaman akuntabilitas wakil rakyat kepada konstituen dapat dilihat pada unsur pemberian suara dan unsur rumus penentuan calon terpilih. Jika sebelumnya tanda coblosan di surat suara hanya pada kolom nama calon dinyatakan tidak sah, kini pemberian satu tanda hanya pada kolom nomor urut calon, atau hanya pada kolom nama calon, atau hanya pada kolom nama parpol dinyatakan sah.

Jika sebelumnya nomor urut calon dalam penetapan calon terpilih tidak berlaku hanya untuk calon yang mencapai jumlah suara sah yang sama atau melebihi BPP, kini nomor urut calon tidak berlaku untuk calon yang mencapai jumlah suara sah minimal 30 persen dari BPP.

Karena rumus baru ini akan memacu setiap calon memperoleh suara sebanyak-banyaknya, diperkirakan lebih dari 50 persen anggota DPR hasil Pemilu 2009 akan terpilih berdasarkan jumlah suara yang diperoleh.

UU Pemilu yang baru ini tak hanya menambah arena kompetisi untuk memperebutkan kursi DPR, tetapi juga mempertajam kompetisi antarcalon suatu parpol peserta pemilu di setiap dapil karena sistem ini memberi insentif bagi calon untuk melakukan kampanye mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.

Sistem pemilu proporsional terbuka seperti ini mengharuskan setiap parpol peserta pemilu mengatur kompetisi internal antarcalon di setiap dapil agar persaingan berlangsung secara sehat. Sistem ini diperkirakan juga mendorong pemilih memberikan suara kepada calon yang dikehendaki sehingga pada Pemilu 2009 diperkirakan akan lebih banyak pemilih memberi tanda pada kolom nomor urut calon atau pada kolom nama calon daripada di kolom nama partai.

Jika perkiraan ini benar, dua hal diharapkan terjadi: para pemilih/konstituen pada setiap dapil akan menuntut pertanggungjawaban kepada wakil rakyat dan para wakil rakyat akan berupaya mempertanggungjawabkan tugasnya kepada konstituen.

Derajat keterbukaan sistem ini memang belum maksimal, tetapi sudah cukup memadai untuk memperkirakan konsekuensinya pada legitimasi wakil rakyat selain pada parpol. Tujuan sistem pemilu ini diharapkan akan terwujud melalui pembelajaran yang dialami parpol peserta pemilu, para calon dan pemilih sambil terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 (learning by doing).

Multipartai

Penciptaan sistem ”multipartai sederhana” tampaknya juga tetap menjadi tujuan sistem pemilu ini, tetapi kali ini hendak dicapai dengan cara lain.

Terlalu banyak parpol di DPR/DPRD, tetapi perolehan kursi yang relatif seimbang mendorong parpol di DPR/DPRD untuk lebih berorientasi pada ”bagi-bagi pasal” daripada berkompetisi untuk membuat UU/perda dan kebijakan publik lain yang menguntungkan masyarakat umum.

Terlalu banyak partai di DPR/DPRD, tetapi perolehan kursi yang relatif seimbang juga dipandang sebagai salah satu faktor yang menyebabkan pemerintahan yang kurang efektif.

Singkat kata, terlalu banyak partai dengan perolehan kursi yang relatif seimbang dipandang sebagai salah sebab mengapa demokrasi yang kini diterapkan di Indonesia belum ada relevansinya bagi kesejahteraan rakyat.

Besaran dapil merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menciptakan sistem kepartaian. Namun, pembuat UU tampaknya hendak mencapai sistem ”multipartai sederhana” tidak melalui instrumen besaran dapil, tetapi dengan instrumen ambang batas pemilu (electoral threshold) yang harus dicapai parpol.

Cara lama

Ambang batas cara lama dalam UU No 12/2003 dibatalkan sebelum sempat diterapkan untuk kemudian diganti dengan ambang batas model baru. Apabila sebelumnya suatu parpol peserta pemilu dapat mengikuti pemilu berikutnya bila mencapai sekurang-kurangnya 3 persen kursi DPR, kini suatu parpol peserta pemilu dapat memperoleh kursi di DPR dengan mencapai sekurang-kurangnya 2,5 persen suara dari total suara hasil pemilu anggota DPR (sekitar tiga juta suara), tetapi parpol peserta pemilu yang tidak mencapai ambang batas ini boleh ikut pemilu berikutnya.

Mekanisme pembagian sisa kursi DPR di setiap dapil juga hendak digunakan sebagai instrumen mengurangi jumlah partai di DPR. Setelah kursi dibagi kepada parpol peserta pemilu yang mencapai jumlah suara sama atau melebihi BPP, sisa kursi diberikan kepada parpol peserta pemilu yang mempunyai sisa suara minimal 50 persen BPP di dapil tersebut.

Akan tetapi, bila dengan cara ini masih terdapat sisa kursi, pembagian sisa kursi tersebut diangkat ke tingkat provinsi dengan menggunakan formula perwakilan berimbang. Jika satu provinsi terdiri atas satu dapil, pembagian kursi harus selesai di dapil tersebut. Peluang parpol peserta pemilu yang kecil dukungan pemilih untuk mendapat sisa kursi menjadi sangat berkurang.

Dengan mekanisme pembagian sisa kursi DPR seperti ini dan dengan ambang batas model baru ini, diperkirakan jumlah parpol yang berkiprah di DPR akan berkurang dari 16 partai sekarang (10 fraksi) menjadi 7-8 partai/fraksi.

Ramlan Surbakti Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga


Leave a comment

Categories