Posted by: fpkssda | April 20, 2008

Double Representative di Parlemen

Double Representative di Parlemen
Oleh Moh Samsul Arifn
-Jawa Pos, 19/04/08-

Agak mengejutkan, ketentuan ihwal persyaratan anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menghilangkan syarat domisili dan nonpartai politik.

Pasal 12 UU Pemilu yang disahkan 5 Maret lalu hanya menyebutkan, mereka yang bisa mendaftar jadi calon anggota DPD “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Berarti, siapa pun, asal sanggup mengumpulkan sekian ribu fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang ditetapkan, boleh mendaftar kendati yang bersangkutan tidak berdomisili alias bukan warga provinsi tersebut.

Padahal, UU 12/2003 mengatur syarat domisili, yakni calon anggota DPD sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan.

Alih-alih memperbaiki ketentuan ini, DPR justru mencoret syarat domisili dan nonparpol.

Ada sejumlah alasan mengapa ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 disahkan. Pertama, DPD tak memiliki daya tawar di hadapan DPR yang kian dikendalikan oligarki partai politik.

Kedua, kekuatan ide dan tekanan politik dari luar parlemen tak cukup mumpuni mencegahnya. Dua situasi tadi telah membikin DPD bak “anak tiri” dalam lembaga legislatif kita.

Buat saya, ini akrobat yang berdampak banyak bagi sistem perwakilan kita yang mengadaptasi bikameralisme. DPD dibentuk sebagai kamar kedua (second chamber) lantaran keterwakilan wilayah (ruang) -dalam hal ini daerah provinsi- dirasa tak mungkin bisa diakomodasi dan diperjuangkan oleh DPR secara memadai dan kontinyu. Pasalnya, kamar terakhir lebih mencerminkan keterwakilan penduduk (politik).

Dalam sejarah konstitusionalisme kita, DPD bisa dibilang kelanjutan ide kreatif para pendiri bangsa bahwa unsur daerah dan unsur golongan harus tecermin dalam lembaga legislatif.

Misalnya, dalam periode 1945-1998, dikenal utusan daerah dan utusan golongan yang berkumpul dalam FUD dan FUG di MPR. Tidak seperti anggota DPR yang dipilih lewat pemilu, anggota FUD dan FUG diangkat oleh presiden.

Tetapi, semangat zaman baru menghendaki reformasi sistem perwakilan sebagai kelanjutan penataan hubungan pusat-daerah tak terhindarkan. Unsur daerah diakomodasi dalam kamar sendiri dalam parlemen. Sedangkan unsur golongan dirasa sudah terjembatani oleh keterwakilan penduduk (politik) lewat DPR.

Berbiaknya kesadaran ihwal perlunya bikameralisme adalah karakteristik masa modern di banyak negara untuk menopang keutuhan negara dan integrasi nasional. Menurut C.F. Strong (1965), kamar kedua memikul setidaknya tiga peran penting. Pertama, kamar kedua dapat mencegah pengesahan UU secara tergesa-gesa dan tidak direncanakan secara matang oleh satu majelis.

Kedua, kesadaran sebagai satu-satunya kekuasaan (legislatif) untuk dimintai nasihat dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan tirani. Ketiga, seyogianya setiap saat harus ada pusat resistensi terhadap kekuasaan yang dominan dalam suatu negara.

* Moh Samsul Arifin, salah satu penulis “Perempuan Punya Pilihan!”


Leave a comment

Categories